Featured Post
SURAT DARI IWAN UNTUK TUHAN

IWAN adalah seorang preman yang baru insyaf. Ingin berusaha jujur dan ingin mengenal Tuhan. Ketika sedang merintis kehidupan baru yang lu...

Tampilkan postingan dengan label motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label motivasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 April 2017

Bagaimana Mengatasi Duka dan Permainan pikiran?

Hidup dikuasai oleh pikiran serta perasaan suka dan duka yang merupakan permainan pikiran.  

Jarang sekali kita membuat pikiran dalam keadaan hening tidak terpengaruh akan suka ataupun duka. Pikiran selalu mengejar kesukaan akan tetapi menjauhi kedukaan. Namun, suka dan duka merupakan dua permukaan dari mata uang yang sama, tak terpisahkan. Dimana ada suka di sana pasti ada duka, seperti terang dan gelap, siang dan malam, merupakan pasangan yang membuat kehidupan pikiran menjadi lengkap.

Pikiran seperti air samudra, tak pernah diam, selalu berubah. Oleh karena itu, tidak ada keadaan pikiran yang abadi. Sukapun hanya sementara, demikian pula duka, walaupun biasanya, duka lebih panjang usianya dibandingkan suka. Bahkan suka biasanya berekor duka, walaupun duka belum tentu disambung suka. 

Apa yang hari ini mendatangkan kesukaan, besok sudah berubah mendatangkan kedukaan. Keadaannya tidaklah berubah. Keadaan apa adanya merupakan kenyataan yang tidak berubah. Yang berubah adalah keadaan pikiran kita sehingga karena dasar pemikirannya berubah, maka penilaiannya juga berubah-ubah. Bila hari ini menyenangkan pikiran, besok dapat berubah menjadi menyusahkan.

Kalau nafsu yang memperdaya hati dan akal pikiran sudah mencengkeram kita, maka kita selalu tenggelam, baik dalam suka maupun dalam duka. Dikala suka, kita dapat menjadi mabuk kesenangan dan lupa diri, sebaliknya, di waktu duka kitapun menjadi mabuk kedukaan dan merana. Keduanya merupakan keadaan di mana kita dipermainkan oleh nafsu melalui hati akal pikiran kita.

Bagaimana kita dapat mencari jalan keluar dari lingkaran setan ini? Bagaimana kita dapat terbebas dari nafsu hati dan akal pikiran? Siapa yang bertanya ini? Siapa yang ingin bebas dari nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran? Jelas bahwa yang bertanya adalah pikiran juga, pikiran yang sama yang bergelimang nafsu. Melihat bahwa nafsu mendatangkan ketidakbahagiaan, maka pikiran lalu ingin agar bebas dari nafsu.

Bagaimana mungkin nafsu dapat bebas dari dirinya sendiri? Semua usaha yang dilakukan nafsu tentu mengandung pamrih menyenangkan diri sendiri, membebaskan diri dari susah. Dengan usaha ini, berarti kita terjatuh ke dalam lingkaran setan yang sama, atau bahkan lebih kuat!

Kiranya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali MENYERAH atau PASRAH.

Pasrah kepada Tuhan, kepada Sang Maha Pencipta, Maha kuasa dan Maha Kasih! Kita ini, berikut hati dan akal pikiran, berikut nafsu-nafsu kita, kita ini seluruhnya diciptakan oleh kekuasaan Tuhan! Maka, tidak ada yang lebih benar dari pada menyerahkan segala-galanya kepada yang mengadakan kita, yang menciptakan kita. Di waktu mengalami suka, kita selalu ingat dan bersyukur kepadaNya sehingga tidak mabuk. Di waktu mengalami duka, kita selalu ingat dan menyerah padaNya sehingga tidak tenggelam.

Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang mampu meluruskan yang bengkok dalam batin kita, membersihkan yang kotor. Setiap kehendak Tuhan jadilah!. KUN FAYA KUN.

Bukan pikiran yang ingin menyerah karena kalau demikian tentu ada pamrih yang tersembunyi di balik penyerahan itu. Nafsu selalu berpamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri. Tidak ada si aku atau pikiran yang ingin menyerah. Yang ada hanya penyerahan itu saja, titik. Seolah-olah mati di depan Tuhan. Nah kalau nafsu hati dan akal pikiran tidak bekerja lagi, maka segalanya terserah kepada Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan Maha Kasih, dan hanya kekuasaa Nya sajalah yang akan mampu mengadakan atau menjadikan yang tidak mungkin bagi pikiran.

Wassalam

Kamis, 02 Februari 2017

Menjaga Hati Dari Karat

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. 

Istilah hati dalam bahasa Arab disebut qalbun, yaitu anggota badan yang letaknya di sebelah kiri dada dan merupakan bagian terpenting bagi pergerakan darah. Dikatakan juga hati sebagai qalb, karena sifatnya yang berubah-ubah.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya dan Jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya, ia adalah hati.” (Muttafaq ‘alahi). 

Menurut Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” nya membagi makna hati menjadi dua.

Makna yang pertama, adalah daging kecil yang terletak di dalam dada sebelah kiri dan di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. 

Makna yang kedua, merupakan bisikan halus ketuhanan (rabbaniyah) yang berhubungan langsung dengan hati yang berbentuk daging. Hati inilah yang dapat memahami dan mengenal Allah serta segala hal yang tidak dapat dijangkau angan-angan.

Hubungan antara hati jasmani dan hati rohani itu seperti halnya benda yang dijadikan perkakas dengan perkakasnya, atau seperti akar pohon dengan tempat dia berakar. Hati yang tenang hati ibarat cermin. Jika tidak dirawat dan dibersihkan, ia mudah kotor dan berdebu. 

Karena itu, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah pernah mengatkan bahwa hati manusia terbagi dalam 3 kriteria; Qalbun Salim (hati yang sehat), Qalbun Mayyit (hati yang mati) dan Qalbun Maridh (hati yang sakit). 

Hati yang sakit (Qalbun Maridh), ia senantiasa dipenuhi penyakit yang bersarang di dalamnya. Di antaranya; Riya’, hasrat ingin dipuji, Hasad, dengki, ghibah dan sebagainya. Juga sombong dan tamak. 

Yang lebih parah adalah hati yang mati (Qalbun Mayyit). Hati ini sepenuhnya di bawah kekuasaan hawa nafsu, sehingga ia terhijab dari mengenal Allah Subhanahu Wata’ala. Hari-harinya adalah hari-hari penuh kesombongan terhadap allah, sama sekali ia tidak mau beribadah kepada-Nya, dia juga tidak mau menjalankan perintah dan apa-apa yang diridhai-Nya. Hati model ini berada dan berjalan bersama hawa nafsu dan keinginan-nya walaupun sebenarya hal itu dibenci dan dimurkai Allah. Ia sudah tak peduli, apakah Allah ridha kepadanya atau tidak? Sungguh, ia telah berhamba kepada selain Allah Bila mencintai sesuatu, ia mencintainya karena hawa nafsunya. Begitu pula apabila ia menolak, mencegah, membenci sesuatu juga karena hawa nafsunya.

Sementara itu, hati yang baik dan sehat disebut Qalbun Salim. Inilah hatinya orang beriman. Hati ini adalah hati yang hidup, bersih, penuh ketaatan dengan cahaya terangnya dan bertenpat di nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang). 

Dalam al-Qur’an disebutkan al-salim pada dua tempat. Antara lain QS. Al-Shaffat: 84 yang berbunyi: “(ingatlah) ketika dia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang selamat (sehat)”. 

Kemudian Q.S Al-Syu’ara: 87-89, Allah SWT berfirman: “Dan janganlah Kau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. 

Kata Nabi, sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat. Cara membersihkannya adalah dengan mengingat Allah [dzikrullah] ”

“Qalbu berkarat karena dua hal yaitu lalai dan dosa. Dan pembersihnya-pun dengan dua hal yaitu istighfar dan dzikrullah.” [HR.Ibnu Ab’id dun ya Al-Baihaqi]. 


Berikut ini beberapa kiat untuk menghilangkan karat hati, sehingga hati bersih, amal pun tanpa pamrih, hanya mengharap ridha ilahi:

1. Merealisasikan Tauhid

Merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan diri dari tiga hal; syirik, bid’ah, dan maksiat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah merealisasikan tauhidnya.” (Lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Mumtahanah: 4

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia. Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.’.”

2. Perbanyak beristighfar pada Allah SWT. 

Renungkan betapa banyak nikmat Allah yang diberikan pada kita, namun betapa sedikit kita bersyukur. Dan betapa seringnya kita lalai, lalai karena harta kita, anak-anak kita, ataupun karena istri kita.
Allah berfirman dalam banyak ayat mengenai perintah untuk beristighfar dan bertaubat, diantaranya dalam QS. An-Nur: 31, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sayyidul istighfar (penghulu bacaan istighfar) adalah seorang hamba mengucapkan: (‘Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau’.) Barangsiapa mengucapkannya di pagi hari dalam keadaan meyakininya, lalu ia mati di waktu malamnya, maka ia akan masuk surga.”

3. Perbanyak membaca Al-Qur’an.

Al-Quran di turunkan bukan hanya untuk mencari berkah dengannya, tetapi Allah turunkan sebagai pelajaran, nasihat, obat, dan pedoman hidup. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat/pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 57).

4. Dzikrullah

Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 191, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’.”

5. Berbahagialah dengan kebahagiaan saudaramu.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sehingga penting bagi kita untuk pandai-pandai menata hati. Ketika melihat tetangga beli mobil baru, maka biasanya syubhat mengganggu hati dengan berpikiran su’udzon. Maka hendaklah dengan lapang dada kita berpikiran bahwa ketika tetangga beli mobil baru, adalah suatu kebahagian pula untuk kita karena (Alhamdulillah) kita nanti bisa numpang, kita bisa merasakan pula nyamannya mobil tersebut. Subhanallah, betapa tentram hati ini ketika kita mampu menata hati dengan baik, maka semua yang terjadi akan terasa sebagai nikmat, nikmat dan nikmat. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman dalam QS. Ibrahim: 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

6. Menjauhkan Penyesalan

Jangan pernah mengucapkan kata-kata yang mengundang syubhat dari syaithan, seperti mengatakan, “Seandainya aku melakukan itu, pastilah akan terjadi begini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengucapkan “Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyadari bahwa semuanya sudah ditakdirkan, dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah ditempuhnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata, “QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala”. Biarlah terjadi karena memang itulah yang sudah ditakdirkan Allah. Tiada gunanya mengeluh dan berandai-andai.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan begitu’ Akan tetapi katakanlah, ‘QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala’ (Allah telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya), Karena perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.” (HR. Muslim).

7. Qanaah, Zuhud dan Suka berbagi

Sehingga kita menjadi orang yang qana’ah, zuhud, dan suka berbagi kebahagiaan.

”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi : 46).

”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal : 28).

Harta bukanlah tujuan, namun tidak lebih hanya sebagai salah satu sarana dan bekal untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala telah berfirman dalam salah satu ayat-Nya,

”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah : 41).


Wallahu a’lam.

(Sumber : Bulletin Hidayah) 

Jumat, 23 Desember 2016

Kalau Bisa Dibuat Mudah, Mengapa hidup harus dibuat sulit?

Bismillahirrahmannirrahim.


Sesuai pertanyaan judul diatas, terkadang lebih mudah diucapkan akan tetapi begitu sulit untuk dilaksanakan. Dalam kehidupan kalau bisa dibuat mudah mengapa harus dipersulit?.

Bila dikaitkan dengan firman Allah :

"Dan tidaklah kehidupan di dunia ini melainkan senda-gurau dan permainan belaka dan sesungguhnya perumahan akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya, jikalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 64)

Ya, hidup didunia adalah kehidupan yang sementara, kehidupan fatamorgana dan penuh kepalsuan. Segala tindakan yang kita perbuat belum tentu murni bernilai ibadah, ikhlas karena Allah. Bisa jadi perbuatan baik apapun yang kita lakukan telah terkotori dengan riya atau ingin pamer sehingga tanpa kita sadari menjadi satu hal yang sia-sia dimata Tuhan. Apalagi jika kita melakukan perbuatan buruk yang didasari karena ego dan hawa nafsu yang akan semakin menumpukan amalan dosa didalam jiwa.

Setiap manusia lebih banyak tersibukan oleh hal hal yang sebenarnya suatu bentuk kesia-siaan di mata Allah misalnya bila ada kasus yang sedang "hot" atau "hit" terkadang kita lebih mudah menanggapi atau berkomentar tanpa ada dasar ilmunya sama sekali. Orang bilang "lidah tidak bertulang" padahal ada yg lebih besar antara faedah atau mudharatnya yaitu "opini" atau buah pemikiran yg kita tulis melalui media sosial atau melaui lisan dan lain sebagainya sehingga keadaan yang seharusnya dapat menentramkan malah semakin mengobarkan api karena perang opini. Jadi jelas apakah tidak semakin besar dosa-dosa yang kita tanggung apabila pendapat kita menyesatkan?.

Apa yang kita rasakan bahwa sekarang ini adalah jamannya demokrasi yang dianggap bisa sembarangan orang untuk bebas berpendapat, baik dengan hawa nafsunya atau dengan menggunakan disiplin keilmuannya yang justru ujung ujungnya bila berbenturan malah menimbulkan konflik bahkan sampai ke ranah hukum, kalau begitu dapat kita pertanyakan apa artinya dengan demokrasi bila berbeda pendapatpun malah jadi ribut atau bahkan berurusan dengan aparat hukum.

Berarti khan tidak bebas?.

Padahal seharusnya khan damai-damai saja atau aman-aman saja.

Pada akhirnya semua kejadian diatas dunia ini baik pengalaman diri maupun episode perjalanan orang lain yang seharusnya dapat kita ambil hikmahnya bahwa sebelum kita berbuat, haruslah kita pertimbangkan masak-masak apa konsekuensinya kelak atas perbuatan atau buah pemikiran kita.

Bekali diri dengan pemahaman diri dahulu, bekali diri dengan sepenuhnya dengan "ISI" ilmu sehingga tidak akan diibaratkan seperti " Tong kosong nyaring bunyinya" atau ibarat "Air beriak tanda tak dalam".

Bila diri kita bukan seorang pakar pembuat pesawat jangan coba-coba membuat pesawat sendiri.
Bila diri kita  bukan seorang ahli agama jangan coba coba mengurai masalah agama atau bahkan menghina para alim ulama, yang bilamana kita lihat ke diri kita sendiri dapat dipertanyakan, apakah kita lebih soleh dari diri mereka? Apakah hidup kita setiap waktu mendalami kitab suci atau menghapalnya?.
Apakah ibadah kita telah benar sesuai tuntunan nabi?. Bahkan untuk ibadahpun kita masih "belang bentong", doa-doapun banyak yang tidak hapal apalagi penguasaan tafsir quran dan ribuan hadits yang hapal diluar kepala. Astagfirullah.

Sekarang kembali kita melihat kedalam diri kita sendiri, sejatinya bila hidup ingin tentram dan tidak menambah beban dosa, ya terapkan pertanyaan kedalam diri sendiri "bila hidup bisa dibuat mudah mengapa harus dibuat sulit?."
"Bila bisa berbuat baik, mengapa harus berbuat zhalim?".

Hidup yang sebentar ini bisa kita manfaatkan sebaik baiknya dengan banyak melakukan perbuatan baik walaupun terlihat kecil dan sederhana. Insyaallah.

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya janji Allah itu adalah benar. Maka dari itu, janganlah engkau semua tertipu oleh kehidupan dunia ini dan janganlah sekali-kali kepercayaanmu kepada Allah itu tertipu oleh sesuatu yang amat pandai menipu.” (Fathir: 5)

JAGALAH HATI DAN LIDAHMU TERUTAMA HAWA NAFSU PIKIRANMU SENDIRI

Wallahuallam bisshawab

Senin, 05 September 2016

Nobody is Perfect

Anda sedang galau?. Apa yang Anda pikirkan?. Begitu banyak masalah kah saat ini yang sedang Anda hadapi?. Apapun yang sedang Anda rasakan berkenaan dengan merasa "ketidaksempurnaan diri" menghadapi berbagai persoalan hidup misalkan masalah percintaan, masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, masalah keuangan dsb.


Pernahkah Anda meresapi dan berintrospeksi diri bahwa berbagai persoalan muncul diawali dari respon pikiran terutama sugesti dari alam bawah sadar kita sendiri. Ketika berkeyakinan Anda akan menghadapi masalah maka pasti akan menemui masalah karena itu yang sedang Anda harapkan. Namun ketika Anda berkeyakinan baik baik saja maka tentunya akan baik baik saja. 

Ketika Anda telah berintrospeksi diri kemudian telah mendapatkan apapun mindset diri sendiri selama ini. Lantas apakah Anda juga mengevaluasi segala bentuk hubungan Anda terhadap orang lain baik ucapan maupun tindakan apakah telah sesuai untuk tidak menciderai hati atau perasaan orang lain?. 

Sebagai gambaran; terkadang kita gampang sekali menilai sesuatu apa yang telah diperbuat atau dihasilkan orang lain dengan penilaian "negatif" misalkan bila seseorang telah menghasilkan suatu karya lalu kita bilang jeleklah.. atau tidak enaklah.. atau salah.. dsb, padahal bisa jadi orang tersebut telah berbuat semaksimal mungkin mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk berbuat yang terbaik menyenangkan orang lain. Ketika Anda telah menilai negatif, apakah tidak hancur perasaannya. Menghancurkan keikhlasannya berubah menjadi "dongkol". Terkadang kita sibuk dengan kesalahan orang lain sebesar semut padahal bisa jadi sisi kebaikannya melebihi sebesar gajah. Seperti salah satu ungkapan yang cukup terkenal.

Misalkan bila keadaannya terbalik, Anda pada posisi dalam penilaian orang lain yang melakukan suatu karya misalkan kebisaan memasak. Mungkin pernah sekali kali Anda melakukan kesalahan, bayangkan bila Anda memasak, setelah sibuk mempersiapkan bahan bahan, kemudian membersihkan, mengolah bumbu bumbu, kemudian memasaknya berhadapan dengan kompor panas dengan wajan dsb. Ketika telah selesai dan disajikan kemudian dinilai oleh orang lain "ga enak banget" dengan sadis di pendengaran Anda. Bila Anda emosi tentunya jangan sampai melakukan "pergerakan" perpindahan makanan tersaji ke tempat "yang tidak semestinya" misalnya muka orang lain. Maaf. 

Ya begitulah terkadang kita mudah sekali menilai tapi tanpa pernah mencoba melalui proses. Ketika telah melalui proses akan terasa sekali tahapan perjalanan suatu proses perjuangan, pengorbanan, proses pencurahan tenaga dan konsentrasi dsb.

Manusia bukanlah seperti robot melainkan terdiri dari darah dan daging dan memiliki perasaan.
Dari sinilah terkadang kita tidak sadar menanamkan suatu "karma" buruk yang tercatat oleh alam yang menjadi simpanan Anda lalu dikemudian hari dikembalikan kedalam diri Anda.

Kesimpulannya adalah bila ingin hidup Anda bahagia maka awali pemikiran Anda dengan pola pikir (mindset) positif. Kemudian perbanyak perbuatan baik untuk mengumpulkan karma baik (pahala di sisi Tuhan) sekecil apapun dan yang terakhir usahakan untuk selalu tersenyum apapun kesulitan yang sedang Anda hadapi.

Hadapilah hidup dengan berbaik sangka, maka Alampun akan berbaik sangka kepada Anda. Bahkan Tuhan pun akan mengikuti apapun persangkaan seorang hamba kepadaNya.

Manusia memang tidak ada yang sempurna, maka akan lebih baik bila Anda telah menyadari diri sendiri dan diaplikasikan untuk menghargai orang lain juga. 

Mohon maaf bila ada kata kata yang kurang berkenan. Semoga bermanfaat.

Jumat, 02 September 2016

Setitik Tentang Jati Diri

Assalamualaikum.

Kata jati diri barangkali pernah kita dengar atau bahkan mungkin diantara Anda ada yang sedang menggali, apa dan bagaimana, seperti apa dsb. Jati diri pada dasarnya berkaitan dengan "anggapan seseorang terhadap dirinya sendiri". Dalam bahasa psikologi jati diri dapat dipadankan dengan "self-esteem". Bagaimana seseorang memandang dirinya menentukan sikapnya terhadap hidup. 


Ada orang yang beranggapan dirinya adalah orang yang tidak berharga, padahal orang lain melihat dia sebagai orang yang pandai dan rajin. Karena menganggap dirinya tidak berharga, maka dia tidak mampu menggunakan kemampuannya dalam pekerjaan maupun dalam keluarga.

Bangsa Jepang mempunyai jati diri yang kuat. Bangsa ini melihat dirinya sebagai bangsa yang unggul dan terhormat. Rasa unggul dan terhormat ini menjadikan bangsa Jepang sebagai pekerja keras, tekun dan tahan menderita. Selain itu bangsa Jepang pantang tercemar kehormatannya. Kalau harus menanggung rasa tidak hormat (malu maka lebih baik mati (harakiri). Sebaliknya, mungkin terlalu lama dijajah, bangsa Indonesia mempunyai jati diri yang lemah.

Pertanyaan yang paling mendasar lantas bagaimana dengan jati diri kita sendiri? Tentu tidak mudah melakukannya. Waktu yang paling tepat untuk meneliti jati diri adalah sewaktu kita mengalami nasib yang tidak menyenangkan, misalnya sedang sakit, sedang kena PHK atau mengalami kebangkrutan usaha. Nasib diri kita pada dasarnya bersumber dari jati diri atau self-esteem, yaitu bagaimana kita melihat atau menganggap diri kita. Keadaan sakit juga merupakan akibat dari self-esteem.

Jati diri terbentuk oleh tiga kebutuhan hidup manusia, yaitu kekuasaan, rasa tanggung jawab dan cinta kasih. Manusia membutuhkan kekuasaan dalam bentuk pengaruh terhadap orang lain, penerimaan dan perhatian dari orang lain. Kegagalan atau kekecewaan tidak medapatkan kekuasaan tersebut dapat menyebabkan orang menganggap dirinya tidak berguna atau self-esteem yang rendah. Hal yang sama juga terjadi pada kegagalan mendapatkan kasih sayang dan tanggung jawab.

Sebagai contoh, pada waktu kita mengalami musibah, termasuk sakit, mulailah menelusuri berbagai kejadian atau pengalaman di waktu lalu yang menyebabkan kekecewaan, kesedihan atau kemarahan dalam hal kekuasaan, kasih sayang dan tanggung jawab dalam hidup itu sendiri. Kalau sudah menemukan pengalaman dan kejadian tersebut maka sadarkan diri sendiri bahwa pengalaman dan kejadian tersebut sudah lewat dan seharusnya tidak ada urusan atau kaitan lagi dengan kehidupan kita sekarang. Sekarang kita sudah menduduki kursi direktur dalam perusahaan besar, sehingga kita menjadi perhatian, mendapat kasih sayang dan juga kekuasaan.

Apakah semudah itu mengubah jati diri? Tidak sama sekali. Memang mudah dikatakan tetapi sangat sulit untuk dilaksakan. Tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba.

Selanjutnya bertanyalah pada diri sendiri, apa tujuan hidup kita. Bagi orang yang religius dapat bertanya, untuk tujuan apa Tuhan menciptakan saya dan menugaskan saya hidup di bumi ini? Para pewaskita mengatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk memberi, untuk melayani orang lain. Dalam Islam dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjadi Khalifah Allah di Bumi. Misi Kholifah adalah untuk memakmurkan bumi dan membahagiakan sesamanya.

Jika sekarang Anda sudah tahu tujuan hidup yang paling hakiki, yaitu melayani. Pertanyaannya, apakah selama ini kita sudah bersikap melayani? Kalau belum tidak heran kita gagal menjadi pejabat, menjadi pengusaha atau menjadi tetangga yang baik. Kita tentu menyangkal bahwa hidup kita sejauh ini belum atau tidak melayani. Kalau begitu bertanyalah pada diri sendiri, apakah kita bahagia, tidak tegang atau stress?

Kalau kita merasa tidak bahagia (ada saja yang kurang atau ada saja yang salah), itu tandanya kita tidak bahagia atau mengalami stress. Rasa tidak bahagia dan stress adalah sumber kegagalan dan penyebab sakit. Tidak melayani sama artinya dengan egois. Kita jadi pejabat tidak melayani rakyat tetapi sibuk dengan kekuasaan. Menjadi pengusaha tidak melayani konsumen tetapi sibuk meningkatkan keuntungan sendiri.

Dari ragam dialog diri diatas, yang perlu kita sadari adalah bahwa kita memiliki nilai atau harga diri sama dengan manusia lain karena semua manusia diciptakan Tuhan dengan misi yang sama. Oleh karena itu tidak perlu merasa kurang atau merasa lebih dari orang lain. Katakan pada diri sendiri bahwa kita adalah manusia "pemberi" yang hebat. Itulah jati diri kita yang hakiki.

Selasa, 30 Agustus 2016

Antara Sakti dan Sakit

Assalamualaikum wr.wb

Di zaman dikatakan milenium ini, yang sesungguhnya telah beberapa kali terjadi peradaban "lebih milenium" berganti kemudian tenggelam dan muncul lagi berulang ulang. Namun pada hakikatnya kehidupan manusia adalah sama, sebagai pemimpin diatas bumi. Maknanya adalah untuk mengolah dan memanfaatkan semua sumber daya alam di bumi untuk kebaikan seluruh umat manusia.


Sedikit sekali catatan sejarah mengenai peradaban masa lalu yang hebat yang di ketahui oleh khalayak sekarang ini bahkan mungkin telah dihancurkan atau dihilangkan. Beberapa barangkali ada dari nubuwah atau cerita dari kitab suci mengenai keadaan peradaban masa lalu disertai misi suci para utusan (nabi / rosul) ditengah umat mereka. Sehingga apa yang dikatakan mukjizat atau karomah orang orang suci tergambarkan diluar batas tanggap otak kita sekarang ini. Apa sebab?.  Ujung ujungnya karena sebab kekuasaan Tuhan.

Di zaman sekarang apakah ada orang yang memiliki karomah atau kemampuan yang mukjijat?.  Tentu ada, hanya saja orang orang seperti itu tidak pernah menunjukan diri di muka umum. Kalaupun ada barangkali adalah penampilan para pesulap dan ahli mentalist seperti muncul di media media. Kesimpulannya yang membedakannya adalah kemampuannya diperoleh dari mana. Cara berlatih, Instan atau memang pemberian Tuhan atau dari cara setan.

Bila diantara Anda ada yang memiliki kelebihan dari Tuhan, maka syukurilah agar tidak menjadikan Anda mengaku "sakti" sehingga malah menjadi kutukan dari Tuhan. Bila dilatih maka pergunakan untuk kebaikan semua orang. Adapun bila Anda memperolehnya dari setan, maka segeralah bertobat karena tidak akan ada manfaatnya bagi Anda dan akan menjadi sengsara di akhirat kelak. Wallahualam

Bagi saya dan diantara Anda yang berada pada garis normal normal aja, mungkin menjadi orang "SAKTI" adalah angan angan / khayalan akan tetapi bila sewaktu waktu menderita "SAKIT" itu adalah kenyataan. :)

Kelelahan fisik, mental dan pikiran akan menyebabkan jatuhnya diri menjadi sakit. Bisa sakit fisik atau bisa pula fisikis. Sakit fisik bisa berusaha dengan istirahat yang cukup, minum vitamin dan obat, akan tetapi bila sakit karena pikiran barangkali akan lama prosesnya, hanya satu jalan yang bisa membantu yaitu dengan berserah diri kepada Tuhan. Tiada daya dan upaya selain karena kekuasaan Tuhan.

Lantas kalau sakit hati masuk kemana ya?. kalau secara fisik namanya sakit liver :), namun secara fisikis tetap termasuk karena pikiran juga yang mengendap. Berikhtiar dan berdoa adalah upaya diri sebelum berpasrah diri kepada Tuhan.

Mengharapkan kesaktian yang bila Tuhan tidak berikan malah membuat diri berputus asa, padahal sesungguhnya kesaktian yang sejati adalah pengendalian diri dari hawa nafsu. Namun bila suatu saat Tuhan berikan hidayah dan karomah karena saking sayangnya Tuhan kepada kita dengan memberi amanah, maka syukurilah dan pergunakan untuk kebaikan ke semua orang.
Wallahualam. 

Semoga Anda Sehat Semuanya.
Misi selanjutnya...