Disaat sebagian kita dalam beberapa hari ini terfokus pada kejadian di Jakarta yang disajikan oleh semua media dan menjadi isu pembicaraan diantara masyarakat diantara pro dan kontranya, mungkin ada pertanyaan kenapa orang bisa berbuat seperti itu? terlepas apa misinya, hanya Allah Yang Maha Tahu, kebenarannya hanya Dia yang tahu, semua sudah terekam dan kebenarannya akan disajikan di hari penghisaban nanti.
Bila ada kemarahan atau dendam didalamnya, baiknya ada sedikit pengobatan gangguan psikis yang dengan cara terapi ibadah. Mungkin bagi Anda bisa diambil manfaatnya atau siapapun termasuk saya sendiri. Apakah terapi ibadah itu?, berikut ini saya sajikan dalam uraian dibawah ini yang dikutip dari tulisan Dr. Ahmad Fauzi Tidjani.
Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya. Dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosi, sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikis.
Dalam ajaran Islam, selain psikoterapi duniawi, juga terdapat psikoterapi ukhrawi. Psikoterapi ini merupakan petunjuk (hidayah) dan anugerah (‘athâ`) dari Allah SWT, yang berisikan kerangka ideologis dan teologis dari segala psikoterapi. Sementara psikoterapi duniawi merupakan hasil ijtihâd (upaya) manusia, berupa teknik-teknik pengobatan kejiwaan yang didasarkan kaidah-kaidah insaniah.
Kedua model psikoterapi ini sama pentingnya, ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait. Pendekatan pencarian psikoterapi Islam, didasarkan atas kerangka psiko-teo-antropo-sentris. Yaitu psikologi yang didasarkan pada kemahakuasaan Tuhan dan upaya manusia.
Kemahakuasaan Tuhan tergambar dalam firman Allah surah asy-Syu’arâ` ayat 78-80, ”(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjukiku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” Juga telah Rasulullah SAW tandaskan dalam sabdanya, ”Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali penyakit itu telah ada obatnya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Terapi al-Qur`an
Al-Qur`an merupakan sarana terapi utama. Sebab di dalamnya memuat resep-resep mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit jiwa manusia. Tingkat kemujarabannya sangat tergantung seberapa jauh tingkat sugesti keimanan pasien. Sugesti itu dapat diraih dengan mendengar dan membaca, memahami dan merenungkan, serta melaksanakan isi kandungannya.
Masing-masing tahapan perlakuan terhadap al-Qur`an dapat mengantarkan pasien ke alam yang dapat menenangkan dan menyejukkan jiwanya.
Allah berfirman,
"Dan kami turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 82)
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan, ada dua pendapat dalam memahami term syifâ` dalam ayat tersebut. Pertama, terapi bagi jiwa yang dapat menghilangkan kebodohan dan keraguan, membuka jiwa yang tertutup, dan menyembuhkan jiwa yang sakit. Kedua, terapi yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, baik dalam bentuk azimat maupun penangkal.
Sementara Thabathaba’i mengemukakan, bahwa syifâ` memiliki makna terapi ruhaniah yang dapat menyembuhkan penyakit batin. Dengan al-Qur`an, seseorang dapat mempertahankan keteguhan jiwa dari penyakit batin, seperti keraguan dan kegoncangan jiwa, mengikuti hawa nafsu, dan perbuatan jiwa yang rendah. Al-Qur`an juga dapat menyembuhkan penyakit jasmani, baik melalui bacaan atau tulisan.
Al-Faidh al-Kasyani dalam tafsirnya menilai, lafadz-lafadz al-Qur`an dapat menyembuhkan penyakit badan, sedangkan makna-maknanya dapat menyembuhkan penyakit jiwa. Dan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, bacaan al-Qur`an mampu mengobati penyakit jiwa dan badan manusia. Menurutnya, sumber penyakit jiwa adalah ilmu dan tujuan yang rusak. Kerusakan ilmu mengakibatkan penyakit kesesatan, dan kerusakan tujuan mengakibatkan penyakit kemarahan. Obat yang mujarab yang dapat mengobati kedua penyakit ini adalah hidayah al-Qur`an.
Tahajud dan Dzikir
Terapi kedua adalah shalat di waktu malam, bukan shalat wajib dengan mengakhirkan shalat Isya. Yang dimaksudkan adalah shalat sunah, seperti Tahajud, Hajat, Muthlak, Tasbih, Tarawih (khusus bulan Rhamadan), dan witir. Keampuhan terapi shalat-shalat ini sangat terkait dengan pengamalan shalat wajib. Sebab kedudukan terapinya hanya merupakan suplemen bagi terapi shalat wajib (Qs. al-Isrâ` [17]: 79 dan as-Sajdah [32]: 16)
Tahajud berarti meninggalkan tidur. Sedangkan shalat Tahajud adalah shalat yang dikerjakan malam hari, utamanya setelah bangun tidur. Shalat ini merupakan bagian dari shalat al-lail atau qiyâm al-lail. Shalat Tahajud merupakan shalat yang paling utama dari sekian shalat gairu rawâthib. Bagi melakukannya, ia akan mendapatkan kedudukan terpuji (maqâm mahmûdah).
Tahajud berarti meninggalkan tidur. Sedangkan shalat Tahajud adalah shalat yang dikerjakan malam hari, utamanya setelah bangun tidur. Shalat ini merupakan bagian dari shalat al-lail atau qiyâm al-lail. Shalat Tahajud merupakan shalat yang paling utama dari sekian shalat gairu rawâthib. Bagi melakukannya, ia akan mendapatkan kedudukan terpuji (maqâm mahmûdah).
Shalat Tahajud memiliki banyak hikmah. Di antaranya: mendapat kedudukan terpuji di hadapan Allah (QS. al-Isrâ [17]: 79, dan HR. al-Bukhari dan Muslim dari Salim ibn Abdillah). Pelakunya juga akan memiliki kepribadian layaknya orang-orang shalih yang selalu dekat (taqarrub) kepada Allah, dosanya juga akan terhapus, dan ia akan terhindar dari perbuatan munkar (HR. Muslim).
Jiwa orang yang mengerjakannya akan selalu hidup, sehingga mudah mendapatkan ilmu dan ketentraman. Bahkan Allah menjanjikan kenikmatan surga baginya (HR. al-Hakim, Ibnu Majah, dan Tirmidzi). Selain itu, doa pelaku Tahajud akan diterima, dan ia akan diberi rizki yang halal lagi lapang, tanpa susah payah mencarinya.
Ibadah lainnya yang dapat menjadi sarana terapi adalah berdoa, berdzikir dan wirid. Dzikir dapat mengembalikan kesadaran seseorang yang hilang. Dengan berdzikir, seseorang akan terdorong untuk mengingat, dan menyebut kembali hal-hal yang tersembunyi dalam hatinya. Ia pun akan menyadari, bahwa yang membuat dan menyembuhkan penyakit hanyalah Allah. Sehingga ibadah yang dilakukan dapat menjadi sugesti penyembuhan.
Dzikir dapat menormalisasi kembali fungsi sistem jaringan saraf, sel-sel, dan seluruh organ tubuh. Bagi aliran psiko-sufistik yang memiliki cara-cara khas dalam berdzikir, setiap gerakan yang mereka lakukan memiliki rahasia-rahasia (asrâr). Apabila dilakukan dengan benar, kesembuhan dari penyakit akan dirasakan.
Dalam Tarekat Naqsyabandiyah, misalnya, ada gerakan ujung lidah yang ditempelkan pada langit-langit mulut sambil membaca lafadz, “Allah, Allah,” sebanyak 1000 kali secara sirri (dibaca dalam hati). Atau, dalam Tarekat Tijaniyah terdapat gerakan untuk mengucapkan kalimat tauhid lâ ilâha (tiada tuhan) dengan pandangan mata pendzikir dipusatkan kepada kalbu, kemudian menengadahkan kepala ke atas atau memalingkannya ke samping saat mengucapkan illallâh (kecuali Allah).
Gerakan-gerakan semacam ini, jika dilakukan dengan penuh semangat dan berulang-ulang, diyakini mampu mengaktifkan optimalisasi fungsi organ tubuh.
Dalam psiko-sufistik, juga terdapat konsep latha`if, yang dikembangkan sebagai metode dzikir dalam hati. Latha`if adalah esensi yang lembut dan halus yang terdapat dalam kalbu manusia. Agar ia tetap dapat terus berada dalam fitrah asal (suci dan bersih), diperlukan pemeliharaan melalui dzikir dan perjuangan spiritual (mujâhadah). Pengembangan konsep latha`if dalam psiko-sufistik ini, sama halnya dengan Psikologi Fisiologis (physiological psychology), yaitu cabang psikologi yang meminati interelasi dari sistem syaraf, reseptor, kelenjar endokrin, proses tingkah laku, dan proses mental.
Begitulah manfaat terapi-terapi islami berdasarkan doa dan munajat. Dengan berdoa, harapan dan permohonan kepada Allah agar segala gangguan dan penyakit jiwa yang diderita dapat hilang. Dan terapi ini dapat dilakukan kapan saja, setiap kali kita mengerakan ibadah. Baik dalam shalat, puasa, haji, maupun dalam aktivitas sehari-hari. Wallâhu a’lam
Dr. Ahmad Fauzi Tidjani
0 komentar :
Posting Komentar